Jumat, 07 Februari 2014

Petungkriyono, Dieng yang Masih Alami


Reaksi teman saya setelah berkunjung di Petungkriyono..



Merupakan daerah pegunungan dimana sebagian wilayah merupakan dataran tinggi Dieng. Luas wilayahnya 7359 Ha yang sebagian besar adalah hutan Negara seluas 5190 Ha, Hutan rakyat 341 Ha dan luas pemukiman hanyalah 120 Ha (16%) dari luas wilayah. (Wikipedia Indonesia)

 
Alam Petungkriyono
Pertama kali mendengar nama Petungkriyono adalah saat saya googling 2 bulan lalu sebelum ber solo travelling ke Kota Pekalongan. Saat itu saya tidak terlalu tertarik mendatanginya karena lokasinya yang terlampau jauh dari ibukota kabupaten (34 km) ditambah informasi yang belum terlalu banyak di internet.
*** 
Siapa sangka ternyata Petungkriyono yang tidak terlalu terkenal di internet itu (coba googling dengan keyword “petungkriyono”, hasilnya akan muncul sedikit sekali informasi tentang itu, in case bila dibandingkan dengan tetangganya, Dieng yang sudah go international), ternyata merupakan tempat yang luar biasa indah. Tak salah bila ada yang berpendapat bahwa Petungkriyono adalah Dieng yang masih alami. Tak ada bukit kentang di sana, yang ada hanyalah hutan lebat dan aliran sungai deras berbatu.

Yang membuat saya kagum adalah, ada sekelompok pemuda yang (nampaknya) cinta betul dengan Petungkriyono dan mereka berusaha untuk memperkenalkan daerah tersebut ke wisatawan. Salah satu caranya adalah dengan membuat trip ke Gunung Prau yang saya ikuti kemarin. Lho, Gunung Prau kan ada di Dieng Kab Banjarnegara? Memang, tapi untuk menuju ke sana kami dipilihkan rute yang membelah hutan Petungkriyono sambil diceritakan kisah, sejarah, mitos, dan kondisi hutan Petung yang kami lewati.
 
Pemandangan dari atas pick up
Untuk menuju kesana dari Kota Pekalongan, bisa naik angkutan umum/ bis mini ke Pasar Kecamatan Doro sekitar 30 km. Dari Pasar Doro, disambung dengan mobil pick up yang telah dimodifikasi. Persis seperti yang ada di Cisurupan sebelum mendakiGunung Papandayan. Bedanya, kalau di cisurupan jalannya jelek berbatu, kalau di sini jalannya aspal yang mulus. 15 menit pertama, masih ada satu dua rumah penduduk. Baru setelah gerbang selamat datang bertuliskan “hutan ekowisata Petungkriyono”, mulailah atraksi-atraksi alam mengundang decak kagum di sepanjang perjalanan.
 
Hutan Bambu, asal muasal nama Petungkriyono
Pertama, Anda akan melewati hutan bambu. Kalau tidak salah, memang Petung artinya bambu, dan Kriyono artinya hutan. Di antara sekian banyak hutan bambu di sana, ada mitos di masyarakat yang mengatakan bahwa terdapat suatu tempat hutan bambu yang apabila daunnya gugur, ia akan menancap vertical di atas tanah. Bila ada suara gaduh sedikit saja, daun-daun yang tertancap tadi seluruhnya akan pecah. Beberapa penduduk mengaku pernah melihatnya. Wallohualam kebenarannya.

Menurut Sejarah, Petung juga merupakan pusat pemerintahan masyarakat prasejarah dengan bukti banyak ditemukannya peninggalan sejarah berupa situs-situs:
  1.           Lingga / Yoni yang berada di Desa Tlogopakis Kecamatan Petungkriyono
  2.           Yoni yang berada di Dukuh Gondang Desa Tlogohendro wilayah Kecamatan Petungkriyono
  3.           Lingga yang berada di Dukuh Mudal Desa Yosorejo Kecamatan Petungkriyono
  4.           Archa Ganesha yang berada di Desa Tlogopakis Kecamatan Petungkriyono
  5.           Batu Lumpang yang berada di Dukuh Kambangan di Desa Tlogopakis Kecamatan Petungkriyono dan sebagainya   (sumber: http://www.pekalongankab.go.id/ )


Setelah hutan bambu, suasana mendadak gelap karena tertutup tanaman pakis. Pakis? Ya, pakis kecil yang biasa ada di pinggir sungai di sini ukurannya raksasa sampai menutupi jalan. Seperti payung hijau besar yang tumbuh di tebing pinggir jalan.

Fauna khas Petung adalah Owa Jawa, Harimau Jawa, dan Burung Rangkong. Ketiganya masuk dalam daftar hewan yang terancam punah. Di beberapa tempat di hutan Petung terdapat warung yang menawarkan kopi owa. Sayang saat kami melintas, warung tersebut sedang tutup.

 
Air terjun apa ya namanya...
saking banyaknya sampai lupa 
Tak lama setelah ekosistem pakis, vegetasi ganti didominasi oleh pohon besar. Di salah satu titik terdapat pohon tumbang yang menggantung di atas jalan karena tertahan pohon lainnya. Agak ngeri juga membayangkan pohon tersebut jatuh menimpa pengguna jalan. Dari sini terlihat perbukitan yang sangat lebat vegetasinya berwarna hijau tua. Sesekali sungai jernih berarus deras dengan batuan di sana-sini, nampaknya cocok sekali untuk rafting. Hmmmft, tahan napas, di tiap aliran sungai yang kita lewati, nampak air terjun dari pinggir jalan. Menurut hitungan saya, setidaknya ada 7 air terjun yang nampak dari jalanan. Belum termasuk curug muncar yang telah terkenal itu.
 
Kabut di belakang bikin merinding


 
Ubud nya Jawa


Semakin jauh, jalan berkelok-kelok melewati hamparan sawah yang berundak-undak. Tak kalah cantik dengan Subak di Ubud atau Tabanan (sawah-sawah di sepanjang perjalanan menuju tanah Lot) di Bali deh.
 
Puncak Gunung Kukusan
 
Salah satu sungai di Petung
Makin dekat dengan Dieng, vegetasi berubah dengan hutan Pinus (berbatang) merah. Nampak di kejauhan Puncak Gunung Rogojembangan dan Kendalisodho yang kata pemandu kami bisa ditempuh hanya dengan tracking 2 jam saja. Pemandangan di atas pun spektakuler dengan kesempatan yang sama besar untuk mendapatkan baik sunrise maupun sunset. Apalagi belum banyak pendaki yang tahu dan pernah naik ke Puncak Rogojembangan dan Kendalisodho membuatnya lebih eksklusif. Saya pribadi sih ingin betul suatu hari nanti bisa mengunjunginya. Berdiri di puncak Rogojembangan sambil memandangi hutan lebat Petungkriyono yang tertutup awan tipis. Sungguh mistis.


 
Sunset di Kendalisodo
(foto milik: Mas Purwo di FB)
 
Regojembangan
(foto milik: Mas Purwo di FB)
Udara di sini sama dinginnya dengan Dieng. Siapkan jas hujan juga sebab hujan/embun lokal kerap kali turun membasahi.
 
Vegetasi Pinus
Meninggalkan Petungkriyono, vegetasi hutan berangsur-angsur berubah dengan kebun kentang/ sayuran penduduk. Rumah lebih rapat dan lebih banyak pula penduduk yang dijumpai di sepanjang jalan. Selamat datang di dunia nyata, Dieng yang sesungguhnya. Yang tadi, adalah tetangga Dieng yang masih alami.
*** 
Ada banyak tempat wisata lainnya di Petungkriyono yang belum bisa saya ceritakan karena memang belum saya kunjungi. Ada gardu pandang, penangkaran rusa, rumah pengamatan di tengah hutan, dsb. Anda bisa langsung menghubungi kawan-kawan PPGP (Perkumpulan Pendaki Gunung Petungkriyono) untuk bertanya lebih lanjut. Datangi kantor kecamatan dan dapatkan sambutan ramah mereka. Local behavior orang-orang di Petung juga baik. Hipotesa saya, tinggal di alam yang indah dan kegiatan sehari-hari bercocok tanam membuat mereka lebih murah senyum pada orang asing. Khas ciri-ciri orang yang tinggal di pegunungan.
*** 
 
Petungkriyono dan awan,
Dua asimilasi yang akrab
(foto milik: Mas Purwo di FB)
Teman saya, Dedi Sinaga, yang tinggal di Parapat, tepi Danau Toba pernah bilang “aku tinggal di desa, tapi desaku indah bagai Swedia”. Saat itu saya mencibirnya, mana ada desa yang seperti itu. Sekarang, tak perlu saya mendatangi kampung si Sinaga itu di Sumatera Utara untuk membuktikannya, sebab desa seperti itu dekat adanya, di jantung pulau jawa, Petungkriyono.

Selamat mencoba, jadilah pengunjung yang bijak dengan tidak membuang sampah sembarangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar